Senin

~ Curahan hati seorang Hamba ~

Kutatap liangan air dari atas atap rumahku. Semakin dingin kurasakan dan semakin membekukan ucapku. Semua yang kurasakan terasa terkukung dalam bisu. Kupejamkan mataku dan pikirku mulai berlari-lari melewati WAKTU. Mengaduk-ngaduk perasaanku. Kebencian, amarah, kepedihan membaur dan menelan semua diriku yang bijak. Diriku yang selalu mampu berdiri meski diatas batangan duri KESEDIHAN.


Kumenemukannya lagi, diriku yang selama ini kusembunyikan dalam ketegaran dan ketidakpedulian. Diriku yang tertutup zirah karena lemah dan tak berdaya. Rasanya ingin kutelan semua kebodohan yang ada di BUMI. Ingin sekali kumenjelma menjadi SETAN KEJAM yang memusnahkan kebahagiaan di muka bumi. Ingin sekali kucekik orang-orang yang mencibirku, menghinaku seolah mereka kenal aku. Ingin kuhunuskan pedang di dada mereka yang serta-merta menertawakanku didalam HATI mereka. Ingin rasanya ku berteriak mengalahkan badai, memporak – porandakan seluruh bumi. Dan tertawa sekencang mungkin karena PUAS melakukannya. Hentakan bunyi yang terdengar tak akan membuatku diam. Menulikan telinga dengan beragam suara. Jangan salahkan aku yang terlahir dibumi ini. Sebenarnya akulah iblis yang menjelma sebagai MANUSIA. Jangan dekati aku, atau kamu akan terluka. Pikirku berteriak…


Namun saat kubuka mataku kulihat sebuah NAMA yang ternyata menyurutkan semua kegilaanku, membawaku menepi dari pengaruh hitam yang kutebarkan sendiri. Menggenggam hatiku dan mendinginkannya. Menyurutkan kemarahanku dan membawaku TERBANG kehamparan ladang hijau yang dipenuhi beraneka ragam bunga. Memang hatiku tak sepenuhnya dingin, tapi CAHAYA itu semakin besar…. Akankan mengalahkan keangkuhan dan gelapnya,  pikirku.....?


Aku mulai diam dan berfikir. Kemudian AKU yakini. Aku yakin itu bisa. Karena nama itulah yang memberiku kehidupan. Memberiku ruang untuk bermimpi dan berjalan dalam waktu yang aku sendiri tak tahu kapan akan berakhir. Aku yakin segala kesedihan, kegundahan, dan amarah itu adalah refleksi sebuah RINDU yang terlampau besar dariku padaNya. Karena aku telalu kerdil dalam dunia yang terlampau besar. Diriku yang terlalu memunafikkan segala yang  nyata dan sempurna. Bahwa waktu yang telah kulewati itu sempurna, meski banyak hal yang aku sesali karena kelalaianku. Bahwa kisah hidupku itu teramat sempurna, karena telah diatur sedemikian rupa tanpa celah, meski aku sering mengeluh tentang banyak hal. Tentang diriku yang  tidak pintar , tidak kaya, tentang diriku yang tak seperti yang lain. Padahal aku sepenuhnya tahu, bahwa aku tercipta sempurna. Dengan BADAN yang lengkap, keluarga yang lengkap dengan ayah,ibu, adik dan buah hati karuniaNYa , beserta keluarga besar yang menyayangiku ,....


Memang aku terlalu ANGKUH untuk mengerti dan menerima. Padahal aku paham dan seharusnya menerima. Mungkin inilah kesempurnaan yang Dia coba jelaskan padaku. Bahwa ketidaksempurnaan yang aku pikirkan sebenarnya melengkapi diriku. Bahwa ketidaksempurnaan yang aku pahami sebenarnya adalah kesempurnaan sebuah penciptaan. Sehingga aku sadar bahwa aku terlalu kecil untuk mengaku sebagai penguasa, bahkan untuk menguasai diriku, menguasai nasibku dan menciptakan segala yang kuinginkan. Mungkin sebenarnya yang terjadi hanyalah sebuah SCENE kehidupan yang telah tertulis dan aku hanya pelaku dalam kisah yang Dia buat. Mungkin aku hanya bisa berusaha untuk merubah CATATAN itu, yang aku sendiri tak pernah tahu dimana letak kenyataannya sehingga dinamakan nasib atau takdir. Aku sebenarnya tak sepenuhnya tahu apakah aku ditakdirkan pintar, namun aku berusaha mencari tahu dan belajar untuk menjadi orang yang pintar. Meski aku sadari bahwa aku terlalu BODOH untuk orang lain. Terlalu banyak orang pintar, sehingga terlalu MUNAFIK mengatakan diri sendiri pintar. Padahal aku seharusnya tahu bahwa Dia telah menciptakanku pada batas kepintaran yang cukup dan sempurna. Meskipun kepintaran itu dapat berubah setiap waktu, tergantung pada episode mana aku bisa meraihnya. Dan tentu saja Dia berhak mengambilnya, bila Dia mau. It’s perfect….>,<


Terlalu banyak NIKMAT yang tak terhitung, untuk bisa coba tak aku pedulikan. RASA bahwa semua kurang dan kurang menyembul bagai bisul diantara ruang hatiku. Menyakiti kearifan yang Dia ciptakan pada sebagian diriku yang lain. Sehingga banyak rasa SYUKUR yang terkikis dan terlupakan.


Kerinduan itu tercipta mungkin karena kelemahanku sendiri. Tak mampu memenuhi catatan Biru  sangMALAIKAT Yang ada, banyak catatan merah yang menandakan kelalaianku, kebodohanku dalam memaknai waktu.


Memang kesadaran itu berangsul pulih dan membuatku berhenti dalam memilih jalan yang salah. Aku berhenti dan menepi. Mengais-ngais CINTA. Ku mulai bersujud dan memohon dalam tangis. TANGIS yang tak sadar mengalir deras melewati butir mataku.

Yaa Allah, tak apa bila seluruh bumi membenciku
Asalkan Engkau tak membenciku
Memang aku tak akan pernah sanggup
ketika seluruh hambaMu memusuhiku
Namun diri ini lebih tak sanggup
bila Dirimu meninggalkanku
Kembalikan hamba padaMu ya Rabbii…
Dalam keindahan cinta sejatiMu
Dalam sejuknya jalan lurusMu
Kembalikan hamba ya Rabb
Bantu Hamba untuk kembali
Tegarkan hamba
Ikhlaskan hamba
Dalam setiap episode hidup ini
Bantulah hamba memilih dan lindungi hamba ketika menetapkan hati
Hanya Engkau yang tahu
Kebenaran dalam kehidupanku

Ampunilah hamba yang berdosa
Telah banyak waktu yang kulalaikan hanya untuk kepuasan semu
Ampunilah hamba Yaa Allah…
Ampunilah hamba Yaa Rabbii


Aku tak henti menangis dan tersedak-sedak . Namun sungguh kutemukan kedamaian disana. Aku hanya tinggal berbenah untuk pulang. Pulang melewati jalan benar yang Dia ciptakan. SEMOGA aku benar-benar mampu untuk menjadi hambaNya yang BAIK. Amiin.... Aku tahu, mungkin pada episode lain aku akan terpuruk kembali. Aku hanya berharap ketika itu muncul, Allah akan menghentikanku dan membawaku kembali. Kembali padaNya dan jalan lurusNya ….. Amiiin Yaa Rabbal ‘alamin…..T_T

Sabtu

~ Night hum ~



Aku ingin mencoba mencintaimu dengan apa adamu, aku ingin menyayangimu dengan segala kekuranganku. Semoga ketulusan telah cukup menjadi bekal untuk perjalananku. Untuk memilih pagi, petang, atau malamku…

Malam menidurkanku dalam pangkuan ketika senja berpamit. Inikah sang malam yang pernah kurindukan? Begitu agung nyanyiannya. Senandung yang melelapkan jagad raya....

Jumat

~ MY Everything ~


glitter-graphics.com
Hari demi hari, detik demi detik berjatuhan. Berserakan diatas telapakmu, tercerai berai...
Untaiannya terlepas, mengisyaratkan sebuah cerita dengan jalan yang lain. bersama mimpi yang kubangun, hatiku jua berlayar hingga ke sudut ingatanmu. Memujamu tanpa syarat tuk hapuskan sesalmu, kemudian menoleh padaku dan saat itu jiwaku mulai bertekuk harap.

Menit melesat lagi, begitu cepat. Tak tertahan lajunya kehidupan, sedang kita masih terbuai dalam ayunan malam. Meninabobokan seluruh keajaiban, sehingga aku dan engkau tak perlu lagi berjalan.

Telah kuberikan semua yang kupunya hingga tak tersisa bahkan untuk diriku. Telah kurelakan segalaku untuk berdiri atas nama cintamu yang agung. Demi setitik cinta tertulus yang menjadi dambaan semua orang, dan untuk kehidupan kelak di masa depan bersamamu..

Terkadang aku bertanya apakah harus aku tetap disini? Menunggumu , jejak yang tak kunjung datang. Sedang bekal perjalananku hanyalah secarik kisah dan impian yang usang termakan usia. tak bisakah sejenak kau wujudkan, apa yang menjadi permintaan terakhirku sebelum aku pulang......??

Rabu

~ CARA ~

Cak Nun telah mengajarkan banyak cara, cara apapun, atau cara apa saja. Beliau mengajarkan cara berfikir yang benar. Kebenaran itu diambil dari logika yang sederhana dan mengena. Cak Nun mengajarkan metode berfikir pada awalnya. Dalam salah satu kasus ketika wacana presiden untuk Indonesia harus minimal berpendidikan sarjana, atau dia yang sudah mendapatkan gelar akademik strata satu. Cak Nun menimpalinya dengan pernyataan begini “dulu orang yang pertama kali memberi gelar itu mempunyai gelar tidak?” kalau tidak salah beliau meneruskan, “berarti orang yang bergelar dengan orang tak bergelar duluan mana?” pertanyaan itu sederhana tetapi menukik, dan saya kira cukup untuk menjawab sekian banyak kata ‘mubadzir’ yang lepas membahas syarat-syarat calon presiden.

Contoh lain lontaran pemikiran Cak Nun yang memakai metode pada awalnya, ketika membahas prioritas penggunaan akal dan wahyu. Cak Nun ngendiko: pada awal sejarah manusia tidak diberi wahyu, berarti ia hidup dengan akal tanpa firman. Setelah manusia banyak jumlahnya dan pengetahuannya berkembang, maka tambah pula daya ngeyelnya maka Allah memberi panduan hidup berupa kitab suci. Kalau ada pertanyaan kira-kira akal dan kitab suci kedudukannya mulia mana, maka cukup dijawab dengan ayat innal insana fi akhsani taqwim. Sesungguhnya manusia itu adalah sebaik-baiknya ciptaan. Kenapa begitu? Karena hanya manusia yang punya software akal. Maka kedudukan akal lebih mulia dari pada teks suci. Firman hanya membisu tak di mengerti tanpa akal. Akal bisa menjangkau mencari ayat-ayat kauniyah, seandainya tanpa ayat quliyah.

Metode berfikir lainn yang diajarkan Mbah Nun adalah berfikir meluas. Baru-baru ini muncul lagu keong racun. Bagi nalar awam saya, mengartikan lagu itu layaknya searti dengan lagu kucing garong, karena isi lagunya juga sekitar ‘lelaki moto wedoan’ atau lelaki hidung belang.

Dalam nalar Cak Nun keong racun bisa di maknai secara meluas sebagai simpul salah satu wacana peradaban bangsa. Beliau mengaitkan dengan fabel lomba lari antara keong melawan kancil. Dalam fabel lomba itu si Kancil kalah telak dengan keong. Cak Nun mengidentikkan kancil sebagai simbol pemerintah sedangkan keong simbol rakyat. Dalam makna dongeng itu menunjukkan bahwa rakyat selalu menang kalau berhadapan dengan pemerintah, karena satu sebab: kebersamaan dan kekompakkan.

“lha sekarang keongnya sudah jadi racun!!!” dalam arti rakyatnya juga saling merusak, saling meracuni satu sama lain. Kaitan ini ditandai dengan deklarasi pemimpinnya: “bersama kita bisa” bisa disitu kalau seandainya dikaitkan dengan kenyataan kepemimpinan SBY kira-kira dimaknai sebagai “mampu” atau “racun” sebagaimana makna pada kalimat “Ular itu punya bisa”

beberapa bulan lalu saya sempat nonton program TVRI yang mengapresiasi Ashadi Siregar. Disana Cak Nun, Garin, dan banyak orang hadir. Cak Nun bercerita tentang bagaimana cara Ashadi mentraktir teman-temannya. Menurutnya ada aturan main dalam traktiran itu: bagi yang mentraktir berpendapat kalau mentraktir itu harus makan lebih (tak sama) dari yang ditraktir, tetapi yang ditraktir juga punya aturan main sendiri. Mereka berpendapat, karena kita ditraktir, maka mengambil makanan mengikuti yang mentraktir. Jadi setiap kali Ashadi menambah makanan, teman-temannya juga menambah. “kalau diterus-teruskan, jadi bahaya ini, menguras dompet.”

Aturan main yang misalnya terjadi di angkringan itu bisa dinamakan sebagai syariat. Jadi syariat itu tidak mesti yang berbau ‘agama’. Syariat harus dimaknai secara luas. Cak Nun bilang, “yang punya syariat itu bukan hanya Hizbut Tahrir saja, Ashadipun punya syariatnya sendiri.” Disambut kelekar para hadirin.

Kita juga belajar berfikir metode ibda binafsik ala Romone Sabrang. Semua masalah mikro atau makro akan dikembalikan kepada intropeksi diri. Beberapa tahun lalu Cak Nun dipercaya oleh korban lumpur Lapindo untuk menyelesaikan permasalahan korban lumpur dengan PT. Minarak Lapindo. Kecenderungan yang berkembang di tengah masyarakat menyalahkan PT. Minarak Lapindo sebagai biang kerok, hal ini dapat dilihat dari tuntutan demo masyarakat korban.

Kecenderugan itu tanpa disadari melupakan korban lumpur lapindo dan masyarakat luas untuk intropeksi diri. Cak Nun memberi pernyataan bahwa bencana lumpur Lapindo adalah cobaan bagi semua bangsa Indonesia. Dalam daya tangkap saya Cak Nun mengajak masyarakat untuk berfikir bahwa kita semua punya andil atas kejadian Lumpur Lapindo, karena bencana itu merupakan akumulasi dari tumpukan kesalahan bangsa ini, bukan kesalahan PT. Minarak Lapindo semata.

Satu kasus menimpa Inul Daratista, karena goyang ngebor kontroversialnya. beberapa ulama melarang pementasan di beberapa kota. tetapi apa tanggapan Cak Nun. Beliau melihat dalam kasus ini Inul hanya sebagai korban industri, bukan subyek sehingga naif kalau kita mendlolimi korban.

Kita semua harus intropeksi, karena kita juga menonton goyang ngebor. “Peradaban bangsa cap opo iki. Orang dengan suka rela membayar untuk dipantati,” Kita cenderung munafik karena walau mulut kita seperti membenci, kita tetap menikmati tontonan. Dalam bilik ingatan saya, Cak Nun pernah berujar entah secara lisan atau tulisan, tetapi secara redaksi saya sendiri yang ngarang: “gak usah nyuruh-nyuruh wanita berjilbab, kalau kita masih seneng nonton video porno. itu namanya munafik.”

Seandainya kita sempat hadir dalam acara maiyah seperti Mocopat Syafaat di Yogyakarta, kita akan mengenal bermacam-macam ilmu yang tak dibatasi secara fakultatif seperti di Universitas, diantaranya: Cak Nun meneladankan kepada kita tentang komunikasi yang komunikatif. Suatu saat dalam batin teman saya berujar “saya justru mengalami komunikasi yang komunikatif di forum ini, bukan di kelas Public Relation Kampus sana.”

Pernah aku membaca tulisan Cak Nun yang berujar, “belum tentu profesor komunikasi bisa ngobrol komunikatif dengan para kuli di warung kopi.” Kalau begitu apa sesungguhnya manfaat ilmu itu. teori tak berarti apa-apa kalau tidak dipraktekan.

Jutaan petani terus menanam dengan baik, tanpa harus ‘mangan bangku sekolahan’ pertanian. Tapi itu semua tak harus menjadikan kita merendahkan satu sama lain. Yang sekolah tidak merendahkan yang awam sekolah, dan yang tak sekolah terampil tak boleh melecehkan ilmu sekolahan. Demikian anjuran guru kita.

Kalau menilik ajaran Jawa: ilmu kelakune kanti laku. Ukoro ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan tentang pentingnya ilmu yang bermanfaat (ilmu nafi’).

Juga dalam salah satu hadis mengatakan man amila bima ulima waratsatullahu ma lam ya’lam. siapa yang mengamalkan ilmunya, maka ia akan diwarisi Allah sesuatu yang belum diketahuinya.

Untuk masalah cari ilmu. Cak Nun juga mengajarkan bahwa kedudukan muridlah yang harus aktif mencari, karena murid itu kata Arab yang asal katanya arada yang berarti menghendaki ilmu. Orang yang menghendaki pasti akan terus berusaha terus menggali, meneliti, mencari ilmu dimanapun, kapanpun.

Guru sejati kita adalah Allah. Dialah yang seratus persen punya saham terhadap kita. Ilmu yang kita punyai juga saham pinjaman dari Allah. jangan membatasi diri, bahwa mencari ilmu harus di sekolahan, karena betapa dimanapun Allah menebar ilmu dan hikmah. Jangan membatasi guru itu harus di sekolah, karena kita bisa berguru terhadap apapun, siapapun. Bisa berguru kepada air, api, tanah, cacing, anjing, mega, kilat, dan…tak terbatas.

Minggu

~ Renungan LIR ILIR ~

Oleh : Emha Ainun Nadjib

Bisakah luka yang teramat dalam ini nantinya akan sembuh, bisakah kekecewan dan keputusasaan yang mengiris-iris hati berpuluh-puluh juta saudara kita ini pada akhirnya nanti akan kikis, adakah kemungkinan kita merangkak naik kebumi dari jurang yang teramat curam dan dalam, akankah api akan berkobar-kobar lagi apakah asap akan membumbung tinggi dan memenuhi angkasa tanah air, akankah kita akan bertabrakan lagi jarah menjarah dengan pengorbanan yang tak terkirakan, adakah kita tahu apa yang sebenarnya sedang kita jalani, bersediakah sebenarnya kita untuk tau persis apa yang sesungguhnya kita cari, cakrawala manakah yang menjadi tujuan sebenarnya langkah-langkah kita, pernahkah kita bertanya bagaimana melangkah yang , pernakah kita mencoba menyesali hal-hal yang barangkali perlu kita sesali dari prilaku-prilaku kita yang kemarin, bisakah kita menumbuhkan kerendah hatian dibalik kebanggaan-kebanggaan, masih tersediakah ruang di dalam dada kita dan akal kepala kita untuk sesekali berkata pada diri kita sendiri bahwa yang bersalah bukan hanya mereka, bahwa yang melakukan dosa bukan ia tetapi juga kita masih tersediakah peluang didalam kerendahan hati kita untuk mencari apapun saja yang kira-kira kita perlukan meskipun barang kali menyakitkan diri kita sendiri mencari hal-hal yang benar-benar kita butuhkan supaya sakit…sakit..sakit kita ini benar benar sembuh total, sekurang-kurang dengan perasaan santai kepada diri kita sendiri untuk menyadari dengan sportif bahwa yang mesti disembuhkan bukanlah yang berada diluar tubuh kita tetapi didalam diri kita, yang perlu utama kita lakukan adalah penyembuhan diri yang kita yakini harus betul-betul disembuhkan justru adalah segala sesuatu yang berlaku didalam hati dan akal pikiran kita. Saya ingin mengajak engkau semua memasuki dunia Lir ILir……(Lir iLir….Lir iLir….Tandure woh sumilir tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar……)

Kanjeng Sunan Ampel seakan-akan baru hari ini bertutur kepada kita, tentang kita, tentang segala sesuatu yang kita mengalaminya sendiri namun tidak kunjung sanggup kita mengerti. Sejak lima abad silam syair itu telah Ia lantunkan dan tak ada jaminan bahwa sekarang kita sudah paham, padahal kata-kata beliau mengeja kehidupan kita ini sendiri, alfa….beta..alif…ba….’ ta’….kebingungan sejarah kita dari hari-kehari, sejarah tentang sebuah negri yang puncak kerusakannya terletak pada ketidak sanggupan para penghuninya untuk mengakui betapa kerusakan itu sudah sedemikian tidak terperi “menggeliatlah dari matimu!!! tutur sang Sunan…” Siumanlah dari pingsan berpuluh-puluh tahun, bangkitlah dari nyenyak tidurmu sungguh negri ini adalah penggalan Surga!! Surga seakan-akan pernah bocor mencipratkan kekayaan dan keindahannya, dan cipratan keindahan itu bernama Indonesia Raya. Kau bisa tanam benih kesejahteraanapa saja diatas kesuburan tanahnya yang tidak terkirakan ditengah hijau bumi kepulauan yang bergandeng-gandeng mesra.

Tapi kita memang telah tidak mensyukuri rahmat sepenggal surga ini, kita telah memboroskan anugerah tuhan ini dengan bercocok tanam ketidakadilan dan panen-panen kerakusan. (cah angon….cah angon penekno blimbing kuwi…..lunyu-lunyu penekno..kanggo mbasuh dhodot iro…) kanjeng sunan tidak memilih figure misalnya (Pak Jendral…Pak Jendral,,,,) juga bukan intelektual, Ulama-ulama’, seniman, sastrawan atau apapun, tetapi cah angon, beliau juga menuturkan penekno blimbing kuwi bukan (Penekno pelem kuwi….)bukan penekno sawo kuwi, bukan penekno buah yang lain, tapi belimbing bergigir lima terserah apa tafsirmu tentang lima, yang jelas harus ada yang memanjat pohon yang licin itu, lunyu…lunyu penekno…agar belimbing bisa kita capai bersama dan yang harus memanjat adalah cah angon anak gembala, tentu saja dia boleh seorang doctor, kyai, ulama, seniman, sastrawan atau siapapun, namun dia harus memiliki daya angon daya menggembalakan kesanggupan untuk ngemong semua pihak, karakter untuk merangkul dan memesrai siapa saja sesame saudara sebangsa, determinasi yang menciptakan garis besutan kedamaian bersama, pemancar kasih sayang yang dibutuhkan dan diterima semua warna, semua golongan, semua kecendrungan, bocah angon adalah pemimpin nasional, bukan tokoh golongan atau pemuka suatu grombolan.

Selicin apapun pohon-pohon tinggi reformasi ini sang bocah angon harus memanjat sampai selamat memperoleh buahnya, bukan ditebang dirobohkan atau diperebutkan dan air sari pati belimbing gigir lima itu diperlukan bangsa ini untuk mencuci pakaian nasionalnya. Pakaian adalah akhlak, pakaian adalah yang menjadikan manusia bukan binatang kalau engkau tidak percaya berdirilah di depan pasar dan copotlah pakaianmu maka engkau kehilangan harkatmu sebagai manusia.

Pakaianlah yang membuat manusia bernama manusia, pakaian adalah pegangan nilai, landasan moral, dan system nilai. System nilai itulah yang harus kita cuci dengan pedoman lima! Satu syair tidak bisa diselesaikan ditafsirkan dengan seribu jilid buku, satu tembang syair tidak selesai ditafsirkan dengan waktu dan seribu orang. Kami ingin mengajakmu untuk berkeliling untuk memandang warna-warni yang bermacam-macam dan membiarkan mereka dengan warnanya masing-masing, agar kita mengerti dengan hati dan ketulusan kita.

Sabtu

~ Early years of the silent ~

  • Imagining with your shadow....

Kudengar sebuah sajak tentang perpisahan..
Yang menembus batinku dengan rindu..
Penuh akan perih dan derai air mata..
Kenangan takkan hilang, bisikmu..
Namun aku tahu, kau hanya menenangkan hatimu..
Dan hati yang kau cintai dengan pilu..
Salahkah rasa bila selalu mencintai..
Meski hati hanya satu dan tak mungkin sanggup kita bagi..
Dalam binar embun isyaratkan tentang luka sepi
Disini kita berdiri...
Menantang waktu meski harus jatuh berkali-kali
Berkali-kali pula kau sembuhkan luka di bahu ini
Bahu yang kupersembahkan bagi air matamu
Bagi ragamu agar dapat terus bernafas dalam dekapku..
Jujur aku tak ingin kau pergi..
Aku tahu salah ku mencintaimu..
Tapi hatiku tak mau mengerti,
ia telah menjatuhkan pilihannya dan itu membuatku amat bahagia
Meskikah kuikhlaskan fajar memudar saat baru ingin menebar cahayanya?

Samsara senja berangsur menepi..
Menggulung layar yang sempat membentang dalam alunan cerita...
Kita takkan mati saat ini...
Kita masih punya harapan dan mimpi..

*saat itu kau menggenggam tanganku, meletakkannya di dadamu. Kurasakan detak jantung yang seirama dengan detakan yang kurasa. Kuraih jemarimu dan menelungkupkannya di dadaku. Dapatkah kau rasakan? hatiku menangis...."
"ia memanggilmu.."
"kau dengar?"
"ya.. sebab engkau pemilik detak ini.."
"selamanya?"
"selalu..."
bisikkan perpisahan telah ada diantara kita
mendesirkan rasa takut akan tiadamu
Entah kapan lagi kita bertemu?
masih mungkinkah....

"ikuti kata hatimu, maka kau akan temukan aku.."
"tap..tapi.."
"aku akan selalu menunggumu disini.."
"......................"
"Cepat pulang ya.."
kutunggu anggukanmu yang tak kunjung datang
Mungkinkah kau akan pergi jauh?
Dan takkan pernah kembali lagi kesini...

Setetes air mata kini menetes di pipi...
membasahi dekapan jemarimu yang masih merekam detak jantungku..
Semoga kau ingat dalam setiap langkahmu...
Aku hanya diam saat deru nafasmu semakin samar..

"kau sudah pergi?"

hening......

kurasakan detak jantungku semakin kuat..
"ikhlaskan hati ini Tuhan.."

Aku akan temukan kau suatu hari nanti..
Saat kau kembali merasakan detak ini...
Aku akan berada di sampingmu...
Menemanimu dan selamanya kan seperti itu...

Banyak yang kan berubah disini..
Dalam denyut nadiku, juga dalam aliran darahmu...
Namun kau harus tahu...
Bahwa ada yang takkan pernah berubah...

"Aku akan selalu menyayangimu..."
selamanya?" kudengar suaramu dalam angin yang menderu..

Kutengadahkan kepalaku, mencoba mencari bayangmu.
Namun tiada,
kutangkupkan lagi jemariku,
kurasakan detak yang berangsur menenang..
Lalu kubisikkan lirih padanya ...

"Selalu, dan selamanya..."