Jumat

~ NEW YEAR 2011 ~

  • Tidak Ada yang Istimewa , karena memang tidak perlu di ISTIMEWAkan 
Berdiri di penghujung Desember , Suasana yang biasa saja...
Untuk esok hari, aku cukup menyambutnya dengan senyum bahagia...
Semoga masih di beri kesempatan untuk terus menjadi yang lebih baik...
Tanks to Alloh s.w.t , atas rahmat yang engkau limpahkan terhadapku, sampai detik ini...

Aku tak pernah mengeluh dengan keadaan yang seperti ini...
Karena dalam kesendirianku , masih ada mereka yang perduli terhadapku...
Meski tak berada dekat di sampingku tapi mereka cukup memberikan ,...
Semangat untuk  jalani setiap detik langkahku...

Bukan keramaian,  bukan pesta, bukan bingkisan apalagi hadiah ...
Aku tak menginginkan semua itu  !! yang aku inginkan di Tahun baru ini...
Kesehatan dan Kesejahteraan untuk semua umat manusia...
Terutama orang _orang yang aku sayangi...
Semoga TUHAN memberikan rahmat untuk kita semua , Amin.....

                                                                 

Kamis

~ GUSTI Allah tidak " NDESO " ~

 

Suatu kali EMHA AINUN NAJIB ditodong pertanyaan beruntun :

"Cak Nun," kata sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?"

Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan." "Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya. "Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun.

"Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, " katanya lagi. "Dan lagi belum tentu TUHAN memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi."

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.

Kata TUHAN :
Kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu.
Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu.
Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira TUHAN suka yang mana dari tiga orang ini.

Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.

Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan.

Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"

Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga.
Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak- injaknya.

Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama.

Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.

Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama.

Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.

Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial.

Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya.
Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama.

Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas).

Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.

Ekstrinsik Vs Intrinsik

Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya.

Nabi Muhammad SAW menjawab singkat, "Ia di neraka."
Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup.
Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial. Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.

Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain.

Hal ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W Allport.
Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan intrinsik.

Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya.

Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam dirinyYang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam jauh kedalam .

~ Surat untuk FIRMAN ~


KAWAN, kita sebaya. Hanya bulan yang membedakan usia. Kita tumbuh di tengah sebuah generasi dimana tawa bersama itu sangat langka. Kaki kita menapaki jalan panjang dengan langkah payah menyeret sejuta beban yang seringkali bukan urusan kita. Kita disibukkan dengan beragam masalah yang sialnya juga bukan urusan kita. Kita adalah anak-anak muda yang dipaksa tua oleh televisi yang tiada henti mengabarkan kebencian. Sementara adik-adik kita tidak tumbuh sebagaimana mestinya, narkoba politik uang membunuh nurani mereka. Orang tua, pendahulu kita dan mereka yang memegang tampuk kekuasaan adalah generasi gagal. Suatu generasi yang hidup dalam bayang-bayang rencana yang mereka khianati sendiri. Kawan, akankah kita berhenti lantas mengorbankan diri kita untuk menjadi seperti mereka?

Di negeri permai ini, cinta hanyalah kata-kata sementara benci menjadi kenyataan. Kita tidak pernah mencintai apapun yang kita lakukan, kita hanya ingin mendapatkan hasilnya dengan cepat. Kita tidak mensyukuri berkah yang kita dapatkan, kita hanya ingin menghabiskannya. Kita enggan berbagi kebahagiaan, sebab kemalangan orang lain adalah sumber utama kebahagiaan kita. Kawan, inilah kenyataan memilukan yang kita hadapi, karena kita hidup tanpa cinta maka bahagia bersama menjadi langka. Bayangkan adik-adik kita, lupakan mereka yang tua, bagaimana mereka bisa tumbuh dalam keadaan demikian. Kawan, cinta adalah persoalan kegemaran. Cinta juga masalah prinsip. Bila kau mencintai sesuatu maka kau tidak akan peduli dengan yang lainnya. Tidak kepada poster dan umbul-umbul, tidak kepada para kriminal yang suka mencuci muka apalagi kepada kuli kamera yang menimbulkan kolera. Cinta adalah kesungguhan yang tidak dibatasi oleh menang dan kalah.

Hari-hari belakangan ini keadaan tampak semakin tidak menentu. Keramaian puluhan ribu orang antre tidak mendapatkan tiket. Jutaan orang lantang bersuara demi sepakbola. Segelintir elit menyiapkan rencana jahat untuk menghancurkan kegembiraan rakyat. Kakimu, kawan, telah memberi makna solidaritas. Gocekanmu kawan, telah mengundang tarian massal tanpa saweran. Terobosanmu, kawan, menghidupkan harapan kepada adik-adik kita bahwa masa depan itu masih ada. Tendanganmu kawan, membuat orang-orang percaya bahwa kata “bisa” belum punah dari kehidupan kita. Tetapi inilah buruknya hidup di tengah bangsa yang frustasi, semua beban diletakkan ke pundakmu. Seragammu hendak digunakan untuk mencuci dosa politik. Kegembiraanmu hendak dipunahkan oleh iming-iming bonus dan hadiah. Di Bukit Jalil kemarin, ada yang mengatakan kau terkapar, tetapi aku percaya kau tengah belajar. Di Senayan esok, mereka bilang kau akan membalas, tetapi aku berharap kau cukup bermain dengan gembira.

Firman Utina, kapten tim nasional sepak bola Indonesia, bermain bola lah dan tidak usah memikirkan apa-apa lagi. Sepak bola tidak ada urusannya dengan garuda di dadamu, sebab simbol hanya akan menggerus kegembiraan. Sepak bola tidak urusannya dengan harga diri bangsa, sebab harga diri tumbuh dari sikap dan bukan harapan. Di lapangan kau tidak mewakili siapa-siapa, kau memperjuangkan kegembiraanmu sendiri. Di pinggir lapangan, kau tidak perlu menoleh siapa-siapa, kecuali Tuan Riedl yang percaya sepak bola bukan dagangan para pecundang.

Berlarilah Firman, Okto, Ridwan dan Arif, seolah-olah kalian adalah kanak-kanak yang tidak mengerti urusan orang dewasa.

Berjibakulah Maman, Hamzah, Zulkifli dan Nasuha seolah-olah kalian mempertahankan kegembiraan yang hendak direnggut lawan.

Tenanglah Markus, gawang bukan semata-mata persoalan kebobolan tetapi masalah kegembiraan membuyarkan impian lawan.

Gonzales dan Irvan, bersikaplah layaknya orang asing yang memberikan contoh kepada bangsa yang miskin teladan.

Kawan, aku berbicara tidak mewakili siapa-siapa. Ini hanyalah surat dari seorang pengolah kata kepada seorang penggocek bola. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan Piala darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan bersama dimana tawa seorang tukang becak sama bahagianya dengan tawa seorang pemimpin Negara. Tidak, kami tidak butuh piala, bermainlah dengan gembira sebagaimana biasanya. Biarkan bola mengalir, menarilah kawan, urusan gol seringkali masalah keberuntungan. Esok di Senayan, kabarkan kepada seluruh bangsa bahwa kebahagiaan bukan urusan menang dan kalah. Tetapi kebahagiaan bersumber pada cinta dan solidaritas. Berjuanglah layaknya seorang laki-laki, kawan. Adik-adik kita akan menjadikan kalian teladan ! ( Giga .net SIDAREJA )

Rabu

SEHARUSNYA


AKU hanya ingin memberi kabar bahagia padamu...
Bahwa aku akan segera datang dan menghapus penantianmu..
Aku berterimakasih atas segalanya..
Aku bersujud atas setiamu padaku...

Namun semuanya retak...
Hancur saat senja baru akan merentangkan sayapnya..
Aku hanya ingin mengabarkan pilu
Bahwa hampir usainya hari-hari yang berat
Aku hanya ingin menunjukkan air mata bahagiaku
Tapi kenapa semuanya....?

Maaf jika aku salah...
Dan mungkin kau menunggu terlalu lama...
Tapi begitulah aku disini...
Tak kalah terluka akan rindu karenamu...
Aku ingin kamu percaya ....

Bahwa Nafasku disini kuhabiskan hanya untukmu
Kalender di sudut kamarku yang selalu sempat kupandang sebelum memulai hari
Tanggal dimana kita akan bertemu..
Bagaimana lagi caranya agar kau percaya ?
Bagaimana lagi caranya agar kau mengerti

Tak ada yang kunanti selain bertemu dan mengantarmu
Pada kehidupan yang baru, Tanpaku...

Aku ingin menjadi orang yang pertama kali membuatmu tersenyum...
Saat engkau tak lagi harus menunggu...
Aku ingin membayar pengorbananmu yang rela menungguku...
Meski sempat tertanam pada bayang lain...
Hari ini aku ingin berterimakasih..
Hari ini aku ingin kita merasa sedikit terhibur...
Namun mengapa...

Salahkah niatku yang ingin membuatmu bahagia...
Salahkah aku berkorban segalanya...
Demi melihatmu tertawa untuk yang terakhir kalinya ?
Selama masih ada waktu, aku hanya ingin waktu kita
Yang sesaat tak menghilang sia-sia, salahkah aku ?

Tolong beritahu aku...
Mungkinkah harus dengan nyawaku ?

Aku ikhlas mencintaimu..
Mengapa kau ragukan ketulusan ini ?
Mengapa kau selalu ragu akan kesetiaanku padamu ?
Mengapa tak pernah kau lihat betapa dengan air mata ini
Aku mempertahankan semuanya ?
Aku tak ingin kehilangan kamu...

Dan aku tak meminta apapun...
Hanya sebuah kepercayaan...
Hanya itu...
Begitu beratkah?

Maafkan aku....
Inilah aku dengan segala perhatian yang kurasa...
Segalanya telah kupersembahkan dalam dekapmu..
Inilah aku tanpa kecerdasan yang dapat membuatmu bangga saat orang lain tahu..
Inilah aku dengan keterbatasan jarak dan waktu...
Dan inilah aku yang berusaha menjadi Kisah terindah dalam detik-detikmu..

Dan kurasa...
Saat ini aku sudah tak bisa berpura-pura...
Aku ,Takkan menjadi mereka...

Aku akan menjadi diriku sendiri...
Yang selalu mencintaimu dengan tulus...
Yang selalu ingin membuatmu bahagia meski harus terluka...
Yang kan selalu menunggu dalam setiaku padamu..

Yang akan mendekapmu , membuatmu percaya akan rasa ini...
Meski harus membunuh diriku sendiri....

Aku mencintaimu...
Dan akan selalu seperti itu...

Maafkan aku.....

Selasa

LEAVE


Kusuarakan jengah di pundakku, mengirimkan gundah pada setiap langkah yang tertinggal. Kubiarkan debu menguburnya dalam, tanpa ingin kutoleh meski sedetik. Lalu hari-hari indah yang terukir dalam coretan kisah, menyatu bersama tanya yang belum sempat terjawab. Namun tak apa, sebab pada akhirnya, namamu jua lah perhentiannya.

Dan retakan cintamu membelah jiwa, melahirkan ribuan cahaya yang merasuk dalam puncak harapanku. Jemarimu yang letih menebar kasih, membelai rambutku penuh sayang. Kapan kita bersua pun aku tak tahu, kapan kita meninggalkan ruang ini pun aku tak mau mengingatnya. Yang kutahu hanyalah aku menyimpan rindu, padamu. Itu saja..

Bila memang engkau harus pergi, maka dengan sisa usiaku kan kutemani kau hingga ke ambang janji. Kemudian kucium lembut tanganmu sebelum ragamu benar-benar berlalu. Secarik maaf kan mendambamu, barangkali ada do'a yang tersampir, maka perkenankanlah. Sesungguhnya aku masih akan menunggu, meski sulit sekali rasanya..

Dan kusaksikan engkau pergi..

Ketika gulita kembali merengkuhku, malam ini...