Rabu

~ CARA ~

Cak Nun telah mengajarkan banyak cara, cara apapun, atau cara apa saja. Beliau mengajarkan cara berfikir yang benar. Kebenaran itu diambil dari logika yang sederhana dan mengena. Cak Nun mengajarkan metode berfikir pada awalnya. Dalam salah satu kasus ketika wacana presiden untuk Indonesia harus minimal berpendidikan sarjana, atau dia yang sudah mendapatkan gelar akademik strata satu. Cak Nun menimpalinya dengan pernyataan begini “dulu orang yang pertama kali memberi gelar itu mempunyai gelar tidak?” kalau tidak salah beliau meneruskan, “berarti orang yang bergelar dengan orang tak bergelar duluan mana?” pertanyaan itu sederhana tetapi menukik, dan saya kira cukup untuk menjawab sekian banyak kata ‘mubadzir’ yang lepas membahas syarat-syarat calon presiden.

Contoh lain lontaran pemikiran Cak Nun yang memakai metode pada awalnya, ketika membahas prioritas penggunaan akal dan wahyu. Cak Nun ngendiko: pada awal sejarah manusia tidak diberi wahyu, berarti ia hidup dengan akal tanpa firman. Setelah manusia banyak jumlahnya dan pengetahuannya berkembang, maka tambah pula daya ngeyelnya maka Allah memberi panduan hidup berupa kitab suci. Kalau ada pertanyaan kira-kira akal dan kitab suci kedudukannya mulia mana, maka cukup dijawab dengan ayat innal insana fi akhsani taqwim. Sesungguhnya manusia itu adalah sebaik-baiknya ciptaan. Kenapa begitu? Karena hanya manusia yang punya software akal. Maka kedudukan akal lebih mulia dari pada teks suci. Firman hanya membisu tak di mengerti tanpa akal. Akal bisa menjangkau mencari ayat-ayat kauniyah, seandainya tanpa ayat quliyah.

Metode berfikir lainn yang diajarkan Mbah Nun adalah berfikir meluas. Baru-baru ini muncul lagu keong racun. Bagi nalar awam saya, mengartikan lagu itu layaknya searti dengan lagu kucing garong, karena isi lagunya juga sekitar ‘lelaki moto wedoan’ atau lelaki hidung belang.

Dalam nalar Cak Nun keong racun bisa di maknai secara meluas sebagai simpul salah satu wacana peradaban bangsa. Beliau mengaitkan dengan fabel lomba lari antara keong melawan kancil. Dalam fabel lomba itu si Kancil kalah telak dengan keong. Cak Nun mengidentikkan kancil sebagai simbol pemerintah sedangkan keong simbol rakyat. Dalam makna dongeng itu menunjukkan bahwa rakyat selalu menang kalau berhadapan dengan pemerintah, karena satu sebab: kebersamaan dan kekompakkan.

“lha sekarang keongnya sudah jadi racun!!!” dalam arti rakyatnya juga saling merusak, saling meracuni satu sama lain. Kaitan ini ditandai dengan deklarasi pemimpinnya: “bersama kita bisa” bisa disitu kalau seandainya dikaitkan dengan kenyataan kepemimpinan SBY kira-kira dimaknai sebagai “mampu” atau “racun” sebagaimana makna pada kalimat “Ular itu punya bisa”

beberapa bulan lalu saya sempat nonton program TVRI yang mengapresiasi Ashadi Siregar. Disana Cak Nun, Garin, dan banyak orang hadir. Cak Nun bercerita tentang bagaimana cara Ashadi mentraktir teman-temannya. Menurutnya ada aturan main dalam traktiran itu: bagi yang mentraktir berpendapat kalau mentraktir itu harus makan lebih (tak sama) dari yang ditraktir, tetapi yang ditraktir juga punya aturan main sendiri. Mereka berpendapat, karena kita ditraktir, maka mengambil makanan mengikuti yang mentraktir. Jadi setiap kali Ashadi menambah makanan, teman-temannya juga menambah. “kalau diterus-teruskan, jadi bahaya ini, menguras dompet.”

Aturan main yang misalnya terjadi di angkringan itu bisa dinamakan sebagai syariat. Jadi syariat itu tidak mesti yang berbau ‘agama’. Syariat harus dimaknai secara luas. Cak Nun bilang, “yang punya syariat itu bukan hanya Hizbut Tahrir saja, Ashadipun punya syariatnya sendiri.” Disambut kelekar para hadirin.

Kita juga belajar berfikir metode ibda binafsik ala Romone Sabrang. Semua masalah mikro atau makro akan dikembalikan kepada intropeksi diri. Beberapa tahun lalu Cak Nun dipercaya oleh korban lumpur Lapindo untuk menyelesaikan permasalahan korban lumpur dengan PT. Minarak Lapindo. Kecenderungan yang berkembang di tengah masyarakat menyalahkan PT. Minarak Lapindo sebagai biang kerok, hal ini dapat dilihat dari tuntutan demo masyarakat korban.

Kecenderugan itu tanpa disadari melupakan korban lumpur lapindo dan masyarakat luas untuk intropeksi diri. Cak Nun memberi pernyataan bahwa bencana lumpur Lapindo adalah cobaan bagi semua bangsa Indonesia. Dalam daya tangkap saya Cak Nun mengajak masyarakat untuk berfikir bahwa kita semua punya andil atas kejadian Lumpur Lapindo, karena bencana itu merupakan akumulasi dari tumpukan kesalahan bangsa ini, bukan kesalahan PT. Minarak Lapindo semata.

Satu kasus menimpa Inul Daratista, karena goyang ngebor kontroversialnya. beberapa ulama melarang pementasan di beberapa kota. tetapi apa tanggapan Cak Nun. Beliau melihat dalam kasus ini Inul hanya sebagai korban industri, bukan subyek sehingga naif kalau kita mendlolimi korban.

Kita semua harus intropeksi, karena kita juga menonton goyang ngebor. “Peradaban bangsa cap opo iki. Orang dengan suka rela membayar untuk dipantati,” Kita cenderung munafik karena walau mulut kita seperti membenci, kita tetap menikmati tontonan. Dalam bilik ingatan saya, Cak Nun pernah berujar entah secara lisan atau tulisan, tetapi secara redaksi saya sendiri yang ngarang: “gak usah nyuruh-nyuruh wanita berjilbab, kalau kita masih seneng nonton video porno. itu namanya munafik.”

Seandainya kita sempat hadir dalam acara maiyah seperti Mocopat Syafaat di Yogyakarta, kita akan mengenal bermacam-macam ilmu yang tak dibatasi secara fakultatif seperti di Universitas, diantaranya: Cak Nun meneladankan kepada kita tentang komunikasi yang komunikatif. Suatu saat dalam batin teman saya berujar “saya justru mengalami komunikasi yang komunikatif di forum ini, bukan di kelas Public Relation Kampus sana.”

Pernah aku membaca tulisan Cak Nun yang berujar, “belum tentu profesor komunikasi bisa ngobrol komunikatif dengan para kuli di warung kopi.” Kalau begitu apa sesungguhnya manfaat ilmu itu. teori tak berarti apa-apa kalau tidak dipraktekan.

Jutaan petani terus menanam dengan baik, tanpa harus ‘mangan bangku sekolahan’ pertanian. Tapi itu semua tak harus menjadikan kita merendahkan satu sama lain. Yang sekolah tidak merendahkan yang awam sekolah, dan yang tak sekolah terampil tak boleh melecehkan ilmu sekolahan. Demikian anjuran guru kita.

Kalau menilik ajaran Jawa: ilmu kelakune kanti laku. Ukoro ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan tentang pentingnya ilmu yang bermanfaat (ilmu nafi’).

Juga dalam salah satu hadis mengatakan man amila bima ulima waratsatullahu ma lam ya’lam. siapa yang mengamalkan ilmunya, maka ia akan diwarisi Allah sesuatu yang belum diketahuinya.

Untuk masalah cari ilmu. Cak Nun juga mengajarkan bahwa kedudukan muridlah yang harus aktif mencari, karena murid itu kata Arab yang asal katanya arada yang berarti menghendaki ilmu. Orang yang menghendaki pasti akan terus berusaha terus menggali, meneliti, mencari ilmu dimanapun, kapanpun.

Guru sejati kita adalah Allah. Dialah yang seratus persen punya saham terhadap kita. Ilmu yang kita punyai juga saham pinjaman dari Allah. jangan membatasi diri, bahwa mencari ilmu harus di sekolahan, karena betapa dimanapun Allah menebar ilmu dan hikmah. Jangan membatasi guru itu harus di sekolah, karena kita bisa berguru terhadap apapun, siapapun. Bisa berguru kepada air, api, tanah, cacing, anjing, mega, kilat, dan…tak terbatas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar